Pengantar.
Makalah ini dibuat tahun l996 dalam rangka kegiatan orientasi perencanaan partisipatip yang diselenggarakan oleh LIPI bersama Pemkab Pamekasan, di Gedung Serbaguna Juli l996 salah satu pembicara dari LIPI waktu itu adalah bapak DR. Ir.Nurmahmudi Ismail, Peneliti dan selanjutnya mantan Mentri Kehutanan RI, Kabinet Gus Dur, beliau sempat mengkritisi tulisan ini terutama pada aspek legal formal “dasar hukum“ RKS waktu itu. Sejalan dengan berkembangnya jaman dan issu pemerintahan pro rakyat dengan jargon-jargon “koalisi dengan rakyat” atau bisa jadi karena terkena efek Jokowi-Ahok di Jakarta, atau Manufacturing hope bapak Dahlan Iskan, penulis merasa perlu mengangkat kembali makalah ini, karena dari tahun ke tahun pola pembangunan peternakan tak banyak perubahan dari sejak jaman orde lama, sampai dengan orde sekarang. Sementara dana ratusan milyar setiap tahun mengucur dalam bentuk Bansos, yang lebih bersifat Social Safety net (JPS). Kalau boleh berharap kedepan ada imbangan pembiayaan melalui Kredit Program lunak yang semakin besar, diikuti oleh sistem asuransi kematian sapi,dan Ini akan menperbaiki pola yang ada menjadi lebih tertata, terawasi atau akontabel, demokratis, berkeadilan dan bermartabat.
Ternyata pada akhirnya semua ini akan berpulang pada faktor Idealisme, leadership, kepemimpinan yang bermartabat dan berkarakter. Semuga bermanfaat.
1. Latar Belakang Masalah.
Bangsa Indonesia sejak lama dikenal sebagai bangsa ramah dengan semangat gotong royong yang sangat tinggi, falsafah tolong menolong ini hampir ditemukan dan hidup menjadi budaya di seantero bumi nusantara.
Sejalan dengan berkembangnya peradaban manusia, pola hidup gotong royong ini perlu terus dilestarikan dan di aktulisasikan dalam berbagai aspek kehidupan, keeratan hubungan sosial khususnya di perkotaan saat ini seolah semakin memudar, tetapi yang terpenting nilai, filosofi, jiwa dan kesadaran (idealisme) berbangsa dan bernegara tidak boleh pudar.
Kekhawatiran pudarnya semangat gotong royong dan tolong menolong khususnya dalam masyarakat modern (perkotaan) sesungguhnya berlebihan, sebab yang terjadi hanyalah sebuah proses metamorphosis, nilai-nilai lama menjelma menjadi bentuk lain yang lebih formal dan bahkan lebih sempurna. Masyarakat modern di perkotaan telah mempunyai sistem dan pola ketahanan dan pertahanan yang lebih realistis untuk tetap survive dalam segala hal, seperti sistem asuransi misalnya sudah menjadi “gaya hidup” yang cukup rasional dan bermanfaat. Apabila memang hal itu yang terjadi, demi kepentingan rakyat banyak (petani) negara atau pemerintah wajib hadir ,mendorong terjadinya proses transformasi nilai-nilai tradisional dan mengangkat menjadi nilai formal, tampaknya hal ini akan mulai terwujud dengan disahkannya UU Jaminan Sosial, yang pelaksanaannya disepakati paling lambat tahun 2014.
Sudah saatnya Pemerintah memikirkan perbaikan iklim usaha, jaminan perlindungan (asuransi) terhadap modal usaha sehingga usaha tani lebih bankable, feasible dan bermartabat (formal) sejajar dengan usaha lainnya.
Asuransi dalam sejarahnya ada sejak 4000 tahun yang lalu tumbuh subur di benua Eropa dan merambah semua aspek kebutuhan hidup manusia, dan tumbuh menjadi sebuah industri baru yang sangat prospektif. Dalam lima tahun terakhir asuransi di indonesia tumbuh rata-rata 21,4 prosen (Bapepam,2011) dan senantiasa akan terus tumbuh, berkembang di semua sektor kehidupan, tetapi untuk sektor Pertanian; khususnya sub kapan?
Permasalahannya adalah apakah Pemerintah punya goodwill, dan politicalwill? Bagaimana Caranya? Mekanismenya dan siapa penyelenggaranya dan siapa yang akan membayar preminya? Apabila jawaban dari pertanyaan tersebut “layak dilaksanakan” penulis yakin akan terjadinya “revolusi” di sektor pembangunan peternakan di Indonesia.
Perkembangan politik pasca Pilgub Jakarta dimana tokoh egaliter, prorakyat dan berkoalisi dengan rakyat terbukti memenangkan simpati pemilih mayoritas. Kedepan diharapkan ada Cagub atau Cabup yang menawarkan program asuransi kematian sapi di daerahnya, penulis yakin dengan asuransi masa depan pembangunan agrobisnis sapi akan berkembang. Peternak sangat menunggu Political Action, bukan sekedar political will atau goodwill para peminpinnya.
2. Maksud dan Tujuan
Tulisan ini dimaksudkan untuk menberikan gambaran kemungkinan adanya asuransi kerugian yang disebabkan kematian ternak sapi, melengkapi pembangunan sistem usaha tani ternak (sapi) di Indonesia. Sedangkan tujuannya adalah memberikan proteksi terhadap hilangnya modal (capital Loss) di tingkat petani, memberikan iklim usaha peternakan sapi yang lebih baik sejalan dengan tekad membangun swasembada dan kemandirian pangan (daging sapi) secara berkelanjutan. Rukun kematian sapi "RKS"yang pernah berjalan baik di Kabupaten Pamekasan tahun l990-an diharapkan dapat menjadi model bagi pengembangan asuransi ternak sapi potong di Indonesia.
3. Rukun Kematian Sapi (RKS) sebagai sebuah model.
Kegiatan ini berjalan baik dan tergolong sukses di Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur. dari awal tahun ’80-an sampai dengan tahun l998, dan berakhir setelah kegiatan PPWT selesai. Inisiatif kegiatan ini merupakan bentuk kearifan lokal dari pola kepemimpinan pada waktu itu. Pada awalnya kegiatan ini merupakan bentuk/respon dari kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di pedesaan, dimana ternak sapi merupakan modal utama nomor dua di dalam sebuah rumah tangga petani setelah tanah.
Kultur yang berkembang di masyarakat, apabila seseorang peternak sapi mengalami kematian ternak sapinya maka dianggap ‘membawa sial’ dan mendapatkan semacam sangsi sosial orang tidak akan memberikan ‘peliharaan sapi’ lagi. Sehingga terpikirkan waktu itu bagaimana memberikan ternak pengganti kepada pemelihara, walaupun masih terbatas pada ternak Pemerintah (kereman PPWT) misi dan tujuan kegiatan ini berjalan baik sesuai harapan; modal terus berkembang (walaupun tidak ada lagi suntikan modal), tata kelola kegiatan lebih transparan, akontabel dan berkelanjutan. Sehingga waktu itu Cabang Dinas Peternakan Kabupaten Pamekasan mendapatkan predikat terbaik se Jawa Timur dalam tatakelola ternak sapi kereman (sapi yang digemukkan) milik pemerintah.
Belajar dari rukun kematian sapi ini; bagaimana dikelolanya, darimana sumbangan “premi” (dalam;asuransi) diperoleh dan bagaimana operasionalisasinya tidak berbeda jauh dari mekanisme per “asuransian” konvensional yang ada, yang jelas penggantian diberikan pada kasus “mati mocok” dan mati “potong paksa.’ Kalau pada kasus mati mocok, Rukun Kematian Sapi (RKS) mengganti sapi senilai minimal harga awal, kalau pada kasus potong paksa RKS memberikan tambahan kerugian sebesar penambahan dari hasil penjualan sapi untuk kemudian dibelikan sapi pengganti kepada peternak. Contoh: Sapi A harga kontrak Rp.5.000.000,- kalau mati mocok, RKS mengganti sebesar 60 prosen dari berat bangkai x harga berat hidup atau sekitar Rp.3.000.000, 0°° ganti rugi ini yang perlu dipikirkan adalah unsur kesengajaan atau moral hasard. Tetapi kalau potong paksa, RKS hanya mengganti tambahan kekurangannya, misalnya sapi A mati potong paksa pasti ada bagian yang masih bisa dijual/dikonsumsi, misalnya hasil penjualan Rp.3.500.000,- berarti RKS membayar Rp.1.500.000,- diberikan dalam bentuk ternak dengan harga sesuai kontrak baru. Besarnya premi waktu itu Rp.5000,- dibayar dari keuntungan setiap kali terjadi transaksi jual maupun beli. Dalam satu tahun minimal terjadi 2 kali transaksi jual/beli sehingga “premi” yang dibayar mimimal Rp.20.000,-/per ekor/thn. dengan jumlah sapi waktu itu 350 ekor.
Dilihat dari aspek analisa kebijakan publik, output dari kegiatan RKS ini tatakelola proyek semakin baik, lebih transparan, akontabel, dan impacknya adalah berkelanjutan; karena modal akan tumbuh berkembang, pro poor, projob dan pro enviroment sejalan dengan nafas dan semangat reformasi birokrasi. Kedepan dengan semakin baiknya administrasi kependudukan melalui sistem E-KTP dan majunya teknologi IT upaya penjaminan ala RKS ini optimis dapat berkembang menjadi semacam Asuransi Ternak Sapi. Sudah dapat dibayangkan apabila sistem ini berjalan, Industri Peternakan Rakyat akan tumbuh sejajar dengan usaha agroindustri yang lain.
4. Asuransi Ternak Sapi Dalam Perspektip Kebijakan Pembangunan Peternakan.
Seorang Direktur Jendral Peternakan, drh. Sudjasmiran kurang lebih periode tahun l990, pernah mengatakan seandainya Program Soemba Kontrak (salah satu pola bantuan ternak pemerintah) berjalan dan berhasil, maka kemungkinan separuh dari total populasi ternak waktu itu adalah ternak pemerintah.
Dari fakta dan realitas diatas, dapat diidentifikasi problematika pengembangan ternak (oleh) pemerintah baik di jaman orde baru maupun orde reformasi tidak jauh berbeda, walaupun pada orde reformasi aspek pemberdayaan kelompoknya lebih menonjol. Pembinaan yang berkelanjutan, sistem pengawasan dan pengamanan aset yang kredibel dan akontabel , sangat diperlukan dan mari kita bayangkan seandainya pemerintah telah melengkapi dengan sistem asuransi ternak sapi, sebagai bagian tak terpisahkan dari pola pengembangan ternak ke depan. Apa yang menjadi harapan mantan Dirjen Peternakan dan apa yang sudah dikerjakan di Kabupaten Pamekasan dengan Rukun Kematian Sapi periode Sembilan puluhan menjadi perspektip pencerahan bagi kita semua. Menurut Mulyadi, Direktur pembiayaan pertanian Dirjen Prasarana dan Sarana Kementrian Pertanian, Kementan akan melanjutkan ujicoba asuransi pertanian baru tahun 2013 (tibunenews.com. 2012), besarnya premi direncanakan l.5 prosen dari nilai ternak, dan sementara hanya dilakukan untuk kegiatan KUPS.
Sangat disayangkan Kementrian Pertanian masih setengah setengah dalam memberikan perlindungan terhadap peternak yang notabene golongan masyarakat bawah, ratusan milyar rupiah setiap tahun Kementrian ini meluncurkan dana Bansos, tanpa didukung program starategis yang jelas dan progresif, kalau mau maju kita harus memodernisasi mesin produksi ternak kita yang masih ada ditingkat petani kecil,kepada masyarakat petani golongan menengah yang lebih berwawasan bisnis, kreatif dan lebih inovatif. Menggerakkan golongan menengah ini lebih mudah karena mempunyai akses pada informasi,teknologi dan sumber pendanaan ( Bank).
Instrumen Keberadaan Asuransi sapi ini dapat dipakai guna mendorong nilai investasi sapi bibit lebih kompetitif dibanding sapi jantan, sehingga dapat mengurangi pemotongan sapi betina produktip di suatu daerah. (Madura ; misalnya) Dimana Gubernur Jawa Timur mencanangkan pulau Madura sebagai Pulau Ternak. Barangkali sudah saatnya ada pejabat Negara setingkat Menteri, Gubernur, atau Bupati yang berani mengatakan silahkan berinvestasi sapi di (kabupaten A atau di Propinsi B atau di Indonesia) dijamin oleh Asuransi Ternak.
Faktor keberhasilan yang lainnya adalah sangat tergantung pada goodwill, leadership dan sistem yang dibangun, mau dengan maindset lama atau dengan pola baru yang dimotori oleh bangkitnya masyarakat petani kelas “menengah ” Sangat bersyukur penulis merasakan menjadi staf atau bagian dari pola kepemimpinan yang professional, berkarakter dan berdedikasi tinggi.(@).
Terima kasih.
Maju Terus Pak Dahlan Iskan, panjang umur, kerja, kerja,kerja,sukses, barokah.
Pamekasan 2 desember 2012
Santoso MT
Ka.bidang Barbang. Peternakan
Dinas Peternakan Pamekasan
(@) In memorian. Bapak Hanafi. BA
Sumber: DISNAK JATIM