Sejarah Disnak Jatim

Sejarah Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur

1. Kondisi Peternakan di Jawa Timur pada masa tanam paksa

Ternak bagi masyarakat Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting, selain sebagai binatang peliharaan juga sebagai kekayaan, tabungan dan eksistensi sosial seseorang. Di Madura seekor sapi yang memenangi karapan sapi akan bernilai jual sangat tinggi serta meningkatkan prestige pemiliknya. Posisi hewan ternak yang cukup penting bagi masyarakat Indonesia menyebabkan perhatian masyarakat terhadap hewan ternak juga sangat tinggi.

Namun banyak masyarakat yang mengandang ternaknya di dalam rumah, keadaan ini tentu saja tidak baik untuk ternak dan pemiliknya. Sebagian besar cara berternak masih secara tradisional. Perhatian terhadap kondisi peternakan di Indonesia, terutama menyangkut budidaya ternak yang baik dan kesehatan hewan baru dimulai pada masa kolonial Belanda. Pada periode sebelumnya usaha peternakan masih belum bersifat komesial.

Usaha peternakan di Jawa Timur sudah berlangsung sangat lama. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar penduduk dikawasan ini merupakan petani. Secara kultural sebagian besar petani di Indonesia biasanya memelihara hewan ternak, dengan tujuan antara lain untuk membantu memperingan kerja dilahan pertanian seperti membajak sawah, sebagai komoditas perdagangan dan juga sebagai tabungan.

Jumlah hewan ternak di Jawa Timur secara keseluruhan cukup besar, bahkan menurut pengamatan para pejabat kolonial Belanda yang pernah bertugas di Jawa Timur, kawasan ini merupakan penghasil ternak terbesar di Indonesia pada waktu itu. Pada pertengahan abad ke-19, jumlah ternak yang dipelihara mesyarakat di beberapa Kabupaten Karesidenan Surabaya sebagai berikut :

KabupatenDistrikKerbauSapiKuda
SurabayaKota2.5761.402915
 Jabakota3.2491.249342
 Jenggolo 14.6352.165615
 Jenggolo 22.9803.632590
 Jenggolo 34.9242.248866
 Jenggolo 42.4581.644498
 Rawapulo 12.7581.207712
 Rawapulo 22.2251.713652
 Gunungkendeng13.7954.1661.496
 Kaboh5.008451800
 Lengkir14.433681.809
MojokertoMojokerto6.1633.1972.378
 Mojosari5.4185.4452.043
 Mojoagung2.530360644
 Mojorejo8.4613001.564
GresikKota7608222
 Petambakan2.0434.555749
 Bangawanjero4.4743.025172
 Gunungkendeng7.7561.292721
LamonganTengahan4.462284373
 Gunungkendeng10.002177715
 Bangawanjero2.21724209
SedayuTambangan5.4686.428586
 Kedokan9.4973.9691.716
 Prijek4.0491.6751.015

Perbandingan jumlah ternak di Karesidenan Surabaya, yang menunjukkan kerbau sebagai hewan ternak paling banyak di karesidenan tersebut, tidak mewakili perbandingan ternak secara menyeluruh untuk kawasan Jawa Timur. Kerbau banyak dibutuhkan untuk membantu membajak sawah dan kebun tebu. Sedangkan tenaga sapi dibutuhkan dalam sistem tanam paksa untuk menggerakkan alat penggiling tebu. Di daerah-daerah lain, dimana lahan persawahan tidak terlalu luas, jumlah sapi jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah kerbau atau kuda. Di daerah-daerah tersebut sapi merupakan hewan ternak untuk komoditi, artinya orang memelihara sapi untuk dijual kembali jika sudah layak jual, bukan untuk diambil tenaganya.

2. Cikal Bakal Dinas Peternakan di Indonesia

Seiring dengan perkembangan Pemerintah Kolonial Belanda, usaha Peternakan yang dikembangkan masyarakat milai diperhatikan. Pemerintah Kolonial Belanda berkepentingan agar daging yang dikonsumsi oleh masyarakat Eropa khususnya Belanda adalah daging dari hewan yang sehat. Oleh karena itu didatangkan Dokter Hewan (Veearts) dari Belanda dimana mempunyai tugas mengontrol dan mengobati hewan yang sakit agar tidak menular. Seorang dokter hewan biasanya dibantu oleh Kepala Mantri Hewan (Hoofdmantri) dan Mantri Hewan. Dokter Hewan Belanda yang pertama kali datang ke Indonesia adalah J. Marken.

Pada tahun 1841, pertama kali pemerintah kolonial Belanda membentuk lembaga khusus yang bertugas mengurusi persoalan kesehatan hewan ternak. Lembaga tersebut adalah Burgerlijke Veeartsenijkundige Dienst (BVD) atau Dinas Sipil untuk kesehatan hewan atau Jawatan Kehewanan. Lembaga tersebut bernaung pada Departemen Dalam Negeri (Departemen Van Binnenlandsch), karena Departemen khusus pertanian dan peternakan belum berdiri dan mulai berdiri pada tahun 1928. Namun sampai akhir abad ke-19 belum ada dinas khusus yang bertugas menangani masalah peternakan/kehewanan. Sehingga Dokter Hewan, Kepala Mantri Hewan dan Mantri Hewan yang bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat.

Pada Tahun 1860-an di Kota Surabaya didirikan Schoolter Opleiding Van de Veeartsenijkunst (Sekolah Mantri Hewan). Sekolah ini tidak berjalan lancar karena 9 tahun hanya menghasilkan 8 Mantri Hewan. Akhirnya sekolah kehewanan dipusatkan di Bogor.

Pada tahun 1892 Burgerlijke Veeartsenijkundige Dienst (BVD) memiliki tenaga 22 orang Dokter Hewan, 14 orang Kepala Mantri Hewan, 10 orang Mantri Hewan dan 14 orang calon Mantri Hewan. Tahun 1905 berdiri Departemen Van Landbouw (Departemen Pertanian). Dengan berdirinya departemen tersebut, maka Burgerlijke Veeartsenijkundige Dienst (BVD) diambil alih pengelolaannya. Pada periode ini berbagai usaha dan inovasi peternakan terus digalakkan.

3. Berdirinya Provinsi Jawa Timur dan Desentralisasi Urusan Peternakan

Asal usul pemerintahan di Indonesia dimulai pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811), Ia memerintah Indonesia atas nama Perancis membagi Jawa menjadi sembilan karesidenan. Setelah Belanda menguasai kembali Indonesia, Ia membagi daerah menjadi pemerintah yang lebih kecil (afdeling/kabupaten). Disetiap kabupaten terdapat dua pejabat kolonial yaitu asisten residen dan kontrolir, serta pejabat Bumiputera yaitu Bupati (regent). Asisten residen memiliki tugas mengerjakan bidang pemerintahan di afdeling, sedangkan kontrolir bertugas mengumpulkan komoditas ekonomi dan perdagangan. Di Jawa Timur didirikan beberapa karesidenan yaitu Surabaya, Malang, Besuki, Kediri, Madiun, Bojonegoro dan Madura.

Pada tahun 1922 lahir Bestuurshervorming Ordonnantie (Perubahan Tata Pemerintahan Negara di Hindia Belanda) yang dimuat dalam Staatsblad No. 216 tahun 1922. Bestuurshervorming Ordonnantie 1992 merupakan perkembangan dari Decentralisatie Wet 1903, yang merupakan dasar desentralisasi pemerintah di Indonesia pada masa kolonial. Decentralisatie wet 1903 melahirkan daerah otonom, yaitu wilayah yang diberi kebebasan untuk mengelola rumah tangganya, serta tidak bertanggung jawab langsung kepada Gubernur Jenderal. Berdasarkan Bestuurshervorming Ordonnantie1922 maka lahirlah Provincie Ordonnantie 1924yang dimuat dalam Staatsblad No. 78 Tahun 1924, yang merupakan landasan reformasi dan reorganisasi badan-badan otonom. Pada tahun 1924 Jawa dibagi menjadi 3 provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Masing-masing provinsi merupakan peleburan dari beberapa karesidenan (gewest). Provinsi Jawa Timur disahkan pada tanggal 6 Juni 1928 dengan dikeluarkannya Besluit No. 32 tanggal 6 Juni 1928 tentang pengangkatan W. Ch. Hardeman sebagai Govermen van het Gewest Oast Java mulai tanggal 1 Juli 1928.

Lahirnya pemerintahan otonom di tingkat provinsi menyebabkan dialihkannya urusan pusat ke provinsi. Salah satu urusan pemerintah pusat yang kemudian dilimpahkan kepada provinsi adalah urusan kehewanan, sehingga di provinsi Jawa Timur kemudian berdiri Veeartsenijkundige Dienst atau Jawatan/Dinas Kehewanan yang berkedudukan di kota Surabaya. Dasar pembukaan kantor tersebut adalah Staatsblad No. 432 Tahun 1912 tentang Definisi dan Kebijakan Kesehatan Hewan. Selain mengawasi hewan ternak, tugas Jawatan Kehewanan adalah mengawasi Rumah Pemotongan Hewan (slachthuis). Hal tersebut merupakan upaya untuk menjaga kesehatan daging yang akan dikonsumsi oleh penduduk. Tugas dari Jawatan Kehewanan pada saat itu :

  1.  Perawatan kesehatan pada umumnya terhadap ternak, termasuk pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan menular,
  2. Memajukan peternakan secara umum,
  3. Memajukan peternakan lokal/setempat,
  4. Pengawasan perawatan kebersihan (veterinaire hygiene).

Dalam melaksanakan tugasnya, Dinas Kehewanan berkewajiban untuk melakukan koordinasi dengan Pusat Jawatan Kehewanan di Batavia (Jakarta) dalam menangani masalah kehewanan seperti penyakit ternak. Pada tahun 1928 penyakit ternak yang menyerang di Jawa Timur adalah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), pada saat itu di Bojonegoro hewan yang terserang PMK 1.020 ekor lembu, 366 ekor kerbau dan 4 ekor kambing. Pada tahun 1929 PMK menyerang Gresik sehingga dilakukan penutupan mobilitas hewan ternak. Selain PMK di Provinsi Jawa Timur juga diserang penyakit surrah, druis dan tuberculose. Berikut jumlah ternak di beberapa karesidenan dan kabupaten di Jawa Timur pada Tahun 1928.

DaerahKudaSapiKerbauKambingDomba
Kares. Bondowoso7.097194.0402.04029.90919.261
Kares. Madura9.297355.2049.094104.7407.622
Kab. Ponorogo2.86778.42423.304t.a.t.a.
Kab. Pacitan1.30345.69120.690t.a.t.a.
Kab. Bojonegoro1.60159.59842.444t.a.t.a.
Kab. Tuban2.567111.74725.82324.60716.892

 

Pada tahun 1942 pasukan Jepang menyerbu Indonesia. Tanpa perlawanan yang berarti,  Pemerintah Hindia Belanda menyatakan menyerah kepada pasukan Jepang. Segera setelah memerintah di Indonesia, tentara Jepang melakukan perombakan pemerintahan secara besar-besaran. Jawatan Kehewanan Provinsi Jawa Timur yang semula bernama Veeartsenijkundige Dienst berganti nama menjadi Tikusan Ka atau Kantor Oeroesan Pemeliharaan Hewan.

Lembaga ini tidak lagi bernaung di bawah pemerintah provinsi karena lembaga tersebut sudah dibubarkan. Pada masa penjajahan Jepang, Tikusan Ka bertanggung jawab langsung kepada Gunseikan yang berkedudukan di Jakarta. Pemerintah Jepang sebenarnya tidak terlalu memperhatikan persoalan peternakan di berbagai daerah, tidak terkecuali di Jawa Timur.

Pada tahun 1950, Presiden Republik Indonesia dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat memutuskan membentuk Provinsi Jawa Timur melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950, tanggal 3 Maret 1950. Salah satu urusan yang dilimpahkan kepada pemerintah provinsi adalah Urusan Kehewanan. Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1951 junto Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 1952 dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1952 tentang pelaksanaan penyerahan sebagian dari urusan Pemerintah Pusat dalam lapangan kehewanan kepada Provinsi Jawa Timur.

Selanjutnya dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Jawa Timur Nomor Des.369/G/Drh/53 tanggal 11 Mei 1951 junto Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor HK/296/62/SK tanggal 12 Juni 1974 dibentuklah Dinas Kehewanan Provinsi Jawa Timur.  Pada tanggal 12 Juni 1974, Gubernur Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur kembali mengeluarkan Surat Keputusan Nomor    /2961/62/Sk. Dalam poin 1 dari Surat Keputusan ini berisi: Merubah nama Dinas Kehewanan Provinsi Jawa Timur menjadi  Dinas Peternakan Jawa Timur.

Lima tahun setelah terbentuknya Dinas Peternakan, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur menetapkan lagi Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Dinas Peternakan Daerah Tingkat I Jawa Timur. Adapun susunan organisasi Dinas Peternakan tersebut terdiri atas: (a) Unsur Pimpinan, yaitu Kepala Dinas Peternakan Daerah; (b) Unsur Pembantu Pimpinan, yaitu Bagian dan Sub Dinas yang terdiri atas: (a) Bagian Tata Usaha; (b) Sub Dinas Bina Program; (c) Sub Dinas Produksi; (d) Sub Dinas Usaha Tani; (e) Sub Dinas Kesehatan Hewan; dan (f) Sub Dinas Penyuluhan.

Untuk menyesuaikan dengan perkembangan pemerintahan, terutama berkaitan dengan otonomi maka dilakukan penataan kembali Organisasi dan Tata Kerja Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur.

Penataan tersebut dituangkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 29 Tahun 2000 tentang Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Kepala Dinas dibantu oleh seorang Wakil Kepala Dinas, seorang Kepala Tata Usaha, empat Kepala Sub Dinas (Sub Dinas Penyusunan Program, Sub Dinas Kesehatan Hewan, Sub Dinas Budidaya dan Pengembangan Ternak, dan Sub Dinas Bina Usaha), Kelompok Jabatan Fungsional, dan Unit Pelaksana Teknis Dinas.

Sebagai salah satu perangkat dalam Pemerintahan Daerah, Dinas Peternakan juga bertekad meningkatkan kualitas pelayanannya kepada masyarakat. Oleh karena itu, Dinas Peternakan menjadi satu dari 20 dinas yang perlu ditata kembali organisasinya sehingga lebih efisien dan efektif.  Penataan ini didasarkan pada Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi Jawa Timur.

Dalam menjalankan tugas-tugasnya, kepala dinas dibantu oleh perangkat-perangkat: Sekretariat, yang membawahi: (1) Sub Bagian Tata Usaha; (2) Sub Bagian Penyusunan Program; (3) Sub Bagian Keuangan. Bidang Kesehatan Hewan, membawahi: (1) Seksi Pengamatan Penyakit Hewan dan Pelayanan Medik Veteriner; (2) Seksi Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan; (3) Seksi Pengawasan Obat Hewan. Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner, membawahi: (1) Seksi Produk Pangan Asal Hewan; (2)  Seksi Produk Non Pangan Asal Hewan; (3) Seksi Hygiene Sanitasi dan Kesejahteraan Hewan. Bidang Budidaya, Pengembangan Ternak dan Hewan Lainnya, membawahi: (1) Seksi Kawasan dan Pembibitan; (2) Seksi Pakan dan Teknologi (3) Seksi Penyebaran dan Pengembangan Ternah dan hewan lainnya. Bidang Agribisnis, membawahi: (1) Seksi Pelayanan Keahlian, Informasi, dan Perijinan; (2) Seksi Kelembagaan SDM dan Penyuluhan; (3) Seksi Bina Usaha dan Pembiayaan.  Unit Pelaksana Teknis Dinas, dan Kelompok Jabatan Fungsional.

Adapun nama-nama yang pernah menjabat sebagai Pimpinan pada Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur sejak awal berdirinya sampai sekarang adalah sebagai berikut :

  1. Drh. J.C.H. Lasut
  2. Drh. Soetardjo Soeroamidjojo
  3. Drh. Slamet Tedjakusumo (1968-1977)
  4. Drh. Soedjasmiran Prodjodiharjo (1977-1982)
  5. Drh. A. Silitonga (1982-1988)
  6. Drh. Soetranggono (1988-1994)
  7. Drh. Padang Bambang Wirdjono, MBA. (1994-2000)
  8. Drh. Sigit Hanggono (2000-2009)
  9. Ir. Tadjuddin Nur Kadir, MS. (2009-2010)
  10. Ir. Suparwoko Adisoemarto, MM. (2010-2012)
  11. Ir. Maskur, MM. (2012-2016)
  12. Ir. Rohayati, MM (2017)
  13. Drh. Wemmi Niamawati, MMA (2017-2021)
  14. Ir. Indyah Aryani, MM (2021 - Sekarang)
t.a.