SWASEMBADA DAGING SAPI BUKAN MIMPI

SWASEMBADA DAGING SAPI BUKAN MIMPI

Senin, 10 Juni 2013 | 09:13 WIB Penulis : Web Admin Dibaca : 5715 kali
No Image

Tahun 2014, satu tahun lagi, merupakan target pemerintah untuk men-capai swasembada daging sapi, yaitu tercapainya pemenuhan kebutuhan daging sapi sebesar 420.000 ton, di mana impor hanya ditargetkan sebesar 10% dari total konsumsi nasional. Namun, meski target tersebut sudah di depan mata, masyarakat sempat dihebohkan dengan tingginya harga daging sapi di pasaranyangmencapai 100.000 per kg bahkan 120.000 per kg pada Februari 2013. Sebenarnya kran impor sudah ditekan selama tahun 2012 dan awal 2013, namun malah mengaki-batkan lonjakan kenaikan daging sapi karena kelangkaan supply di pasaran. Lebih miris lagi, kenaikan harga daging yang memukul konsumen kelas menengah ke bawah tersebut tidak dirasakan peternak di grass root.
Karut-marut dunia perdagingan di Indonesia kembali lagi berakar dari penyediaan ke­butuhan (supply) dengan tingkat konsumsi. Saat ini peme­rintah belum memiliki meka-nisme yang handal untuk menghitung jumlah kesediaan daging sapi lokal dengan memperhatikan populasi, tingkat kematian dan perkembangan sapi dalam negeri, serta belum pernah menghitung konsumsi riil untuk rumah tangga maupun industri. Tahun 2011, pemerintah, yaitu Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk melaksanakan Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK 2011) dengan tujuan untuk mengetahui populasi ternak sapi dan kerbau di Indonesia. Hasilnya cukup memuaskan, tercatat 14,82 juta ekor sapi potong. Jika dihitung angka tersebut dengan roadmap swasembada daging sapi 2010-2014, Indonesia sebe-narnya sudah mencapai swasembada daging sapi. Namun, mengapa masalah daging sapi kelihatan masih seperti mengurai benang kusut?

Masalah Utama
Hasil sensus PSPK 2011 me-nunjukkan dengan jelas jumlah rumah tanggapetemakdi Indo­nesia seluruhnya mencapai 15,24 juta orang. Dari jumlah tersebut, 5,9 juta merupakan peternak sapi, 13,51 juta peternak sapi potong, 529.000 peternak sapi perah, danrumah tang­ga peternak kerbau mencapai l,2juta. ini dengan jelas menunjukkan bahwa keberadaan populasi sapi potong sebagian besar berada di rumah tangga peternak, yang umumnya ha­nya memiliki sapi dalam jumlah 2-5 ekor. Umumnya rumah tangga peternak memelihara sapi hanya sebagai usaha sampingan, investasi, atau tabungan yang baru akan dijual saat membutuhkan uang. Kondisi suplai seperti ini tidak bisa diandalkan untuk menyediakan daging secara kontinu. Belum lagi sebaran sentra produksi sapi saat ini masih terkotak-kotak pada beberapa wilayah seperti   Jawa  Timur,   Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, NTT, Lampung, NTB, Bali, dan SumateraUtara.
Transportasi sapi lokal saat ini membutuhkan biaya yang cukup besar untuk memobilisasi sapi hidup, disebabkan upaya pengembangan usaha jual-beli daging sapi beku (frozen beef) antar pulau belum banyak dikembangkan, sehingga me­rupakan suatukesuli tan sendiri untuk memasok ke sentra-sentra konsumsi seperti Jabodetabek. Ditambah dengan tren masyarakat yang lebih me-nyukai membeli daging segar daripada daging beku, menye-babkan lebih banyak transaksi jual-beli sapi hidup untuk dipotong rumah potong hewan.
Saat ini upaya menstimulasi masyarakat untuk beternak sapi hidup sangat terkendala, mengingat tidak efisiennya tata niaga sapi potong akibat panjangnya jaringan distribusi yang dikendalikan pengumpul atau pedagang besar. Peternak berskala kecil umumnya terpaksa menjual sapi melalui pe-rantara atau blantik, selanjut­nya dikirim ke pengumpul, pe­ngumpul ke pedagang kecil, pe­dagang kecil ke pedagang besar atau pedagang antar pulau atau dikirim langsung ke rumah potong hewan, selanjutnya didistribusikan ke pedagang eceran atau pasar becek hingga mencapai konsumen. Peternak umumnya kesulitan menjual ternaknya ke pasar hewan ka­rena masih tidak meratanya se­baran pasar hewan yang mengakibatkan biaya tinggi, dan masih banyaknya permainan harga yang mengakibatkan pe­ternak menelan ludah, alih-alih mendapat keuntungan malah sebaliknya merugi karena jatuhnya harga sapi di pasaran.

Keberpihakan pada Peternak
Melihat benang kusut daging sapi ini, pemerintah seyogianya memiliki rencana yang strategis dan terobosan-terobosan un­tuk penyelesaian akar masalah. mulai berhitung dengan sungguh-sungguh masalah ketersediaan suplai dalam negeri terhadap tuntutan konsumsi. Saat ini upaya pengembangan sapi po-tongseharusnya ditunjang dengan akses kemudahan pinjaman untuk mendorong masyarakat peter­nak mengarah ke usaha agrobisnis berkelanjutan, termasuk rnendorong upa­ya pengembangan bibit-bibit sapi potong untuk menjamin kelangsungan suplai dan mencegah pengurasan sapi potong lokal.
Mekanisme permodalan saat ini sepenuhnya masih diserahkan pada kebijakan perbankan, sementara pinjaman seperti Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) kurang diminati, meski mendapat subsidi bunga dari pemerintah, karena mensyaratkan agunan dan kurang menguntungkan dari jangka waktu dan kembalinya perputaran uang. Bapak angkat seperti perusahaan penggemukan (feedlotter) harus distimulasi untuk dapat menggandeng usaha kelompok peternak kecil agar bisa mandiri dan bersaing. Bantuan sosial (bansos) berupa pemberian langsung sapi hidup yang menghabiskan dana triliunan, sebagai salah satu bentuk campur tangan peme­rintah, harus dievaluasi dan selektif ke peternak atau kelom­pok ternak seperti Lembaga Mandiri Mengakar Masyarakat (LM3) yang bisa menjaga usahanya secara kontinu dan berkelangsungan, bukan diiakukan secara sporadis yang akhirnya gagal bergulir.
Selain itu, tetap perlu dioptimalkan   upaya   mencari jenis sapi bibit yang unggul termasuk pola pembibitan (breeding) yangterstruktur dan menghindari in-breeding di antara sapi lokal yang mengakibatkan kualitas sapi potong lokal terus menurun, per-cepatan pengembangbiakan melalui pola inseminasi buatan (IB), pencegahan penyakit, dan pelarangan pemotongan sapi betina produktif yang disinyalir mencapai 20-30% dan akan memengaruhi perkembangan populasi. Peningkatan keterampilan pe­ternak dan perubahan pandangan dari pemeliharaan sapi sebagai sambilan dan investasi sebagai lahan usaha yang ber­kelanjutan.
Kendala sumber pakan temak yang menyumbang 70-80% usaha sapi dengan semakin terbatasnya lahan, menjadi tantangan tersendiri dalam usaha pe­ngembangan sapi potong, harus disiasati dengan pengembangan sumber pakan alternatif seperti integrasi dengan limbah pertanian, penanaman mandiri hijauan makanan ternak, dan penggunaan teknologi pakan olahan yang mudah diakses pe­ternak dan terjangkau. Dengan demikian, pengembangan usaha peternak dari sistem tradisional menjadi industri pengembangan sapi potong dapat dipicu ke depannya.
Terakhir, namun yang terpenting dari seluruh upaya tersebut, adalah kontinuitas un­tuk mengawal pengembangan sapi potong di bagian hilir tidak hanya hulunya sehingga men­jadi usaha yang prospektif. Hal ini harus diiakukan melalui stabilisasi harga sapi potong di pasaran yang berpihak ke peternak, termasuk di antaranya melalui upaya lebih mendekatkan peternak dan konsumen melalui pemotongan panjangnya rantai distribusi yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Untuk ini, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan regulasi, namun diperlukan pengawasan dan instrumen lainnya agar fluktuasi harga di peternak termasuk di tingkat konsumen, dapat dikendalikan. Harga sapi yang bebas dari spekulan akan langsung dinikmati peternak, otomatis akan mendongkrak gairah peternak-peternak yang sudah ada maupun peternak baru untuk menggenjot produksi usaha sapi potong. Kalau atmosfer ini sudah hadir, tentunya upaya swasembada daging sapi akan terjadi tanpa banyak kesulitan. Maukah kita?

Nama :  Ali Masykur Musa
Profesi : Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
Alamat :   xxxxxxxxxx no. xxxxxxx, Jakarta

Sumber: DISNAK JATIM