OPTIMALKAN MARGIN BISNIS SAPI POTONG

OPTIMALKAN MARGIN BISNIS SAPI POTONG

Senin, 23 Mei 2011 | 12:23 WIB Penulis : Web Admin Dibaca : 4105 kali
No Image

Pemikiran tersebut dikemukakan Ilham Akhmadi, peternak muda yang tinggal di desa sentra sapi yaitu Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Jogjakarta. “Peternak seharusnya berhenti mengeluh. Ingat, meskipun harga jual sapi kita murah, kita juga kulakan bakalan dengan  harga yang murah juga. Masih ada margin-nya,” ungkapnya blak-blakan.
Menurut Ilham apa artinya harga sapi tinggi kalau peternak juga kulakan bakalan dengan harga mahal. “Jatuhnya margin hampir sama,” katanya. Harga sapi murah inipun dianggap Ilham menjadi peluang untuk memperbanyak populasi. “Ibaratnya kalau dulu uang Rp 80 juta cuma dapat sapi bakalan 8 ekor, sekarang bisa dapat 10 ekor. Bahkan bisa jadi uangnya sisa,” terang kandidat master dari Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada ini.

Optimasi Margin
             Dari beberapa kali perbincangan dengan Ilham, disimpulkan masih banyak jalan untuk mengoptimasi margin usaha sapi. Namun ia memberi catatan, kiat-kiat yang dikemukakannya itu hanya berlaku kalau peternak menerapkan sistem jual beli sapi hidup dengan timbangan. “Semua terukur, jelas, dan adil,” katanya. Artinya, sistem taksiran jogrogan alias gelondongan memang sudah saatnya ditinggalkan.
Secara teoritis, peternak bisa mengoptimalkan margin dengan menekan biaya, mencari sumber pemasukan lain dari siklus produksi untuk menyubsidi biaya, dan meningkatkan nilai tambah produk akhir (menggarap hilir/pasca produksi). Menaikkan harga jual jelas tidak masuk akal karena harga jual sapi bersifat market driven.
Biaya yang paling masuk akal ditekan adalah biaya pakan sebagai komponen terbesar. Caranya dengan mencari bahan pakan alternatif berkualitas yang pasokannya kontinu, dan menaikkan efisiensi pakan (dengan olah komposisi maupun teknologi).

Optimasi Pakan
       Optimasi pakan melalui aplikasi teknologi pakan disesuaikan dengan jenis bahan pakan yang bisa disediakan secara kontinu oleh peternak. “Jangan anggap teknologi itu mesti rumit, yang sederhana pun hasilnya bagus,” tandas pemilik bendera Restu Bumi Farm ini.
Sebagai contoh, Ilham melakukan perebusan pada pakan penguat berupa kulit ari kedelai (kleci). Ia pun menambahkan suplementasi bahan pakan yang murah namun nilai energinya tinggi, yaitu ketela pohon (TROBOS edisi Juli 2008).
Hasilnya, Ilham mengaku sangat mudah mendapatkan ADG (Average Daily Gain) 1,8 - 2 kg hanya dengan pakan seharga Rp 25.000, atau setara margin Rp 5.500 – 7.500/kg. Tanpa teknologi racikannya yang kini justru sedang dia teliti untuk menyusun tesis itu, butuh biaya Rp 34.000 untuk mendapatkan ADG yang sama.
“Artinya untuk memperoleh pertambahan bobot 1 kg/hari diperlukan pakan seharga Rp 17.000 sampai dengan 20.000. Dengan harga sapi hidup Rp 20.000 -  22.000/kg, maka peternak hanya punya margin Rp 2.000 - 3.000/kg bobot hidup,” paparnya panjang lebar.
Berbeda dengan Ilham, drh Suparto – manajer kelompok peternak sapi Gunungrejo Makmur (GM) II juga melakukan terobosan dengan mengusahakan sumber pendapatan untuk subsidi biaya pakan. Kelompok ini bersinergi dengan koperasi peternak ayam petelur (layer) Gunungrejo Makmur I untuk pengadaan slamper atau tumpi biji jagung dari pabrik pakan.
“Order pakan ternak layaer di sini bias 50-100 ton/ bulan. Sehingga melalui mereka kami bias mendapatkan slamper seharga Rp 400 / kg dalam jumlah besar,” kata Sarjana Membangun Desa (SMD) teladan nasional ini di ujung telepon. Untuk menaikkan kencernaannya, slamper difermentasi terlebih dahulu sebelum dicampur. Slamper ini merupakan 30 % dari komposisi pakan buatan kelompok GM II.
Selain mendapat sebagian pasokan bahan pakan alternative yang murah, Suparto juga berusaha menekan biaya pakan untuk sapi-sapinya tanpa mengorbankan kualitas pakan. Ia kemudian memutuskan memproduksi pakan penguat untuk di jual.
Tiap bulan kelompok binaanya mampu memproduksi 90 ton konsentrat, 50 ton diantaranya dijual keluar. “kami jual Rp 1.400 / kg. dapat untung Rp 400 / kg, sehingga kami dapat subsidi pakan senilai itu”, ungkapnya. Selain produk si pakan, subsidi juga bias diperoleh dari pengolahan kotoran dan urin sapi.

Optimalisasi Pemasaran
    Optimasi margin juga bias didapatkan dari membangun jejaring  pemasaran yang tepat agar tak lagi tertipu oleh sistim. Suparto menyatakan, peternak secara berkelompok bias saja mengakses pasar akhir secara langsung agar mendapat harga layak. “saya dan kawan-kawan ini langsung mengirim ke Jakarta, mencari yang pembayarannya beres,” katanya.
    Selain itu, alternative lainnya adalah bermitra dengan pemotong / jagal setempat. “cara ini menjadialternatif, tetapi hati-hati memilh mitra pemotong. Sebab banyak dari mereka yang bukan hanya menjagal sapi, tapi juga menjagal eternak dengan pembayaran yang molor bahkan tak terbayar,” pesannya.
    Cara ini sudah diterapkan ilham yang juga seorang pemotong sapi. Ia telah menjalin kerjasama dengan kelompok peternak untuk pengadaan sapi bakalan dan membeli kembali sapi-sapi hasil penggemukan. Kerjasama dibuat dengan perjanjian yang jelas dan transparan.
    Saya siap mendampingi manajemennya. Bagi yang kesulitan pakan, saya siap juga memberi solusi bahan pakan dan teknologi,” tegasnya. Bahkan, ia pun menyatakan akan menuntun siklus produksinya dengan memberitahu kapan saat yang tepat memasukkan sapid an kapan menjualnya.

Garap Sektor Hilir
    Puncak dari optimalisasi yang dilakukan ilham adalah menggarap sektor hilir. Selain memotong sendiri sapi-sapinya, ia juga menjual sebagian dagingnya di 3 kios daging miliknya, bernama “Ilham Meatshop”. Dari 3 kios itu rata-rata terjual 150 kg daging per hari.
    Kios yang dikelola adik-adik bersama istri Ilham ini tak hanya menjual daging, namun juga menjual abon dan adonan bakso. “Kami juga melayani pesanan bakso dengan perbandingan daging-tepung sesuai keinginan pemesan,” katanya. Setiap hari Ilham memproduksi adonan bakso 52,5 kg atau setara 35 kg daging sapi.
    Satu lagi, ilham kini serius mengolah hasil sampingan pemotongan atau produk non karkas seperti rambak/krecek kulit sapid an keripik paru. “tapi produksi rambak baru 25% dari total produksi kulit pemotongankami”, terangnya.
    Tujuan Ilham serius menggarap segmen hilir ini adalah mendongkrak nilai jual saat harga daging turun, mengolah sisa stok daging, memanfaatkan daging kualitas tertentu yang tak terpasarkan, dan mendekatkan harga akhir pangan derivate daging dengan daya beli masyarakat. “bakso dan sosis contohnya, lebih laku di pasar karena harganya lebih terjangkau ketimbang harga daging,” ungkapnya.
    Sedangkan untuk abon, Ilham hanya membuat yang berkualitas premium sehingga harganya yang tinggi, Rp 150.000/kg, karena tak mencampurkan dengan filler nabati. “Produk abon kami memang lebih segmen atas,” katanya. Abon ini di produksi untuk mengatasi sisa stok daging kualitas satu.

Sumber : Trobos No.139

Sumber: DISNAK JATIM